Laman

Rabu, 06 Desember 2017

C O C O

Barangkali banyak yang under estimate saat pertama kali poster Coco terpajang di dinding pelataran teater. Apalagi Coco bukan seperti universe besar layaknya Marvell comic, ataupun trilogy tahunan seperti Star Wars.

Coco hadir sebagai film akhir tahun biasa saja (mungkin) setidaknya bagi saya. Bukan film yg ditunggu berbulan-bulan sebelumnya seperti Infinity Wars, ataupun ditunggu selama dua tahun seperti The Last Jedi.

Dengan tidak adanya ekspektasi, tanpa sadar sore itu 70 ribu rupiah yang kami keluarkan untuk biaya tiket bioskop mungkin menjadi the best rupiah has been spent since i watched a movie at the cinemas. The best value i ever get from Rp. 70.000. This is a long lifes investment.

Mungkin setelah nonton Coco nanti, hasil akhir kita akan berbeda, bisa jadi "ah biasa aja" atau "bagus sih, tapi gak sebagus yg dikira"

Tapi saya percaya value yg didapat akan sama. Sentimen keluarga besar sebagai premis yang diangkat di coco saya rasa akan tetap relate dengan bagaimanapun kondisi dan latar belakang keluarga.

Bagaimana pun hangat, renggang, retak, harmonis kondisi keluarga, bagi saya Coco akan tetap mampu setidaknya menyentil semua hati.

I swear to watch this movie like every year as a tradition with my own future kids.

"Dad please go home, today is Cuddling and Coco day!"

I'm on my way kiddos!

GAP



Senin, 03 April 2017

Menikah?

Sebelum memulai membaca, saya murni menulis ini karena keresahan hati yang berlatar belakang observasi dan pengalaman hidup sendiri. Jika ada opini saya yang bertentangan, silahkan lawan dan bantah pendapat saya, anda pun berhak untuk tidak setuju. Namun saya ingin menggaris bawahi, bahwa apabila hal itu terjadi (silang pendapat) bencilah atau musuhi lah argumennya, bukan orangnya. Agar kita selalu tetap dalam lindungan juga lingkaran silaturahmi yang baik dan erat. Aamiin.

Okay.. Here it goes..

Sebenarnya keresahan ini sudah lama berada dalam benak saya. Tapi belakangan saya seperti semakin banyak mendengar dan mendapati pertanyaan 'kapan nikah?'

Kesal? Tidak.

Karena saya pun berangkat dari orang tua yang menikah muda. Mama dan Ayah saya menikah saat mereka berumur 24 tahun, bahkan saat itu ayah saya belum genap berusia 24 tahun.

Tak perlu saya tanyakan, sudah jelas sepertinya ayah berani menikahi mama karena sudah resmi menjadi anggota Polri.

Masa depan jelas. Jelas digaji sampai pensiun. Mantap djiwa.

Jadi tak ada latar belakang saya yang anti menikah muda. Justru saya pun sempat berfikir ingin menikah muda, Just like my parents.

Hari berganti, sepertinya angin berhembus ke arah lain. Pemikiran berkembang ke tujuan yang berbeda. Memasuki usia 24 tahun, keinginan untuk saya menikah muda semakin pudar, melemah.

Faktornya ada banyak. Lebih dari cukup untuk membuat hati meragu.

Salah satunya disini yang akan saya bahas adalah tentang 'menikah itu tak akan selalu bahagia.'

Ya memang, dinamika ya seperti itu.
But, let me explain..

Saya melihat, mengamati, merasakan. Dari mulai dalam keluarga inti, keluarga besar, orang yang saya kenal akrab, sampai yang saya hanya tau begitu saja. Saya perhatikan semuanya dan belajar bahwa memang roda kehidupan tak akan selalu di atas dan berpihak kepada kita, menikah itu tak akan selamanya bahagia.

Masalahnya adalah, semua orang sadar ini, tapi menutup mata. Seolah-olah optimis, tapi tak ada persiapan menghadapi situasi terburuk.

Tau, tapi pura-pura bodoh.

Saya melihat yang gagal, hancur, dikhianati, ditinggalkan, meninggalkan.

Saya bandingkan perbedaannya dengan yang masih bertahan dan romantis selama 25 tahun yaitu ayah dan mama saya.

Perbedaan itu semua adalah 'kesiapan'

Mereka yang gagal, bukan karena mereka tidak berjuang, tapi mereka memulai disaat belum siap, dan mereka terlalu muluk mengharapkan pernikahan yang indah seperti dongeng dalam serial televisi dan budaya pop remaja.

Harapan tidak sesuai ekspetasi = FAIL.

Bagi saya, menikah adalah sebuah lomba jogging berpasangan yang finishnya adalah ajal. Anda harus selalu berdua, apapun situasi dan kondisinya. Jika salah satu meninggalkan atau tertinggal, maka anda kalah. Permainan selesai.

Maka dari itu adalah lomba yang waktunya sangatlah panjang, anda tak bisa sembarangan memutuskan ikut dalam lomba yang sangat panjang ini tanpa persiapan yang mencukupi. Garis bawahi ini, persiapan yang mencukupi.

Anda tak harus mahir dan berpengalaman. Anda hanya harus siap mental dan fisik. Mau menyatukan visi, misi, dan ego masing-masing.

Karena kalau tidak dipersiapkan, it will be a loooong looong way of difficult journey beybe, and it will punished you when u r not ready, sooner or later.

Terlepas darimanapun, siapapun dan bagaimanapun cara anda mendapatkan jodoh. Bagi saya itu tidak berpengaruh sama sekali jika anda tidak siap.

Memang sunahnya disegerakan. Tapi bukan berarti terburu-buru toh?

Disegerakan kan berarti segeralah jika syarat-syaratnya telah siap.

Hidup kita telah diatur oleh pencipta. Tak mungkin hal sesakral pernikahan tidak diatur waktu kapan dimulainya.

Memutuskan untuk menikah hanya berdasar pada umur dan kesanggupan memenuhi tuntutan jumlah mas kawin? ini adalah lelucon.

Sebab menikah bagi saya hanya akan satu kali. Seumur hidup. Mengabdi dan setia menemani pada satu hati yang sama. Menangis dan bergembira. Terluka dan tertawa. Dibagi berdua.

Satu hal yang tidak kalah pentingnya sering saya dengar 'menikah menghindari zina'

Oh my god.. Really? This is a jokes? It must be a jokes.

Kalau anda ingin menghindari zina, ya jangan berzina. Kok malah nikah? Jadi tujuan anda nikah hanya untuk melepas nafsu bejat? Tolonglah..

Sangat disayangkan pernikahan yang pondasinya adalah 'biar gak zina'

Sehina itukah kita wahai manusia? Seolah-olah kita tunduk sekali dengan nafsu. Budak birahi.

Tentu bagi teman-teman yang telah menikah di usia muda, selamat! Kalian adalah panutan yang tak mampu saya ikuti jalannya. Saya turut mendoakan segala harapan baik kepada teman-teman yang telah lebih dulu siap & berani mengembangkan layar kapal rumah tangga.

Namun teruntuk para muslimah lajang, janganlah desak lelakimu untuk segera menikah. Daripada kamu sibuk mendesak, lebih baik berkaca. Sudah siapkah dirimu menjadi istri? Melayani, menemani, mendukung suami anda dari segala sisi?

Daripada meminta-minta cepat dinikahi, lebih baik bertanya, apakah mental saya sudah cukup kuat untuk menghadapi situasi terburuk yang akan terjadi di dalam pernikahan nanti?

Maka dari itu benahi diri sendiri dan bersiap sesegera mungkin adalah pilihan paling arif dan bijaksana.

Tak perlu posting-posting perihal lelaki yang baik adalah yang menghalali, bukan mempacari dan bla bla bla. Karena sebanyak apapun kamu posting, tetap saja jodoh itu cerminan diri, anda akan dapati seseorang seperti anda.

Jika sudah waktunya, cepat atau lambat dia akan datang sendirinya. Tak perlu dipatok waktu, tanggal dan tahunnya.

Dan apabila anda sudah tetapkan pilihan pada seorang lelaki/perempuan, lalu menggantungkan harapan anda pada dia, percayakan saja.

Kelak dia akan datang ke rumah anda pada waktu yang anda tidak pernah sangka-sangka. Barangkali tidak dalam waktu yang cepat, karena mungkin dia butuh waktu berbenah untuk menyiapkan sebuah biduk yang akan dihuni kalian berdua, dan anak-anak lucu kalian nantinya.

Lalu apabila pada skenario terburuknya dia tidak pernah mendatangimu, ingat dua hal ini:

1. Jodoh adalah cerminan diri, kelak dia pun akan dapat jodoh seperti dia.

2. Selamat anda dijauhkan dari jodoh yg tidak baik, allah pasti akan ganti dia dengan yang lebih baik.

Semoga bermanfaat. Dan plis berhenti posting di medsos anda seolah-olah perempuan itu kebelet 'kawin'. (you know what I mean)

GAP

Update: kalau saja kiranya tulisan ini terlalu maskulin dan subjektif, saya menemukan artikel lain yang ditulis oleh perempuan, dan tentunya dari sudut pandang yg lebih feminis. https://t.co/oWiLKCEye1 highly recommended article.

Selasa, 28 Maret 2017

Hidup

Pukul 2 dinihari, didepan mereka terbentang luas sebuah kota yang dinamai Pekanbaru.

Rumah dari banyak orang yang tiap tahun bertarung melawan pekatnya asap dari hasil terbakarnya hutan dan lahan saat musim kering.

Dari atas bangunan lantai 11, mereka duduk memandangi kelap-kelip lampu kota. Ditemani suara gemercik air kolam renang, dan crane bangunan yang bekerja tepat disebrang salah satu hotel mewah berbintang yang mereka tempati.

Ada yang berbeda malam ini, hening dan gelap malam sama sekali tak membuat mereka takut. Tak ada perasaan yang gundah dari dua orang pemuda yang sedang mencari jatidiri itu.

Dengan malam yang sama pekatnya, lampu kota yg sama warnanya, dingin malam yang sama menusuknya, dua orang pemuda sedang menertawai dirinya masing-masing.

Menertawai hidup yang bisa berubah dalam waktu yang tak disangka-sangka.

Menertawai duka dan luka yang masih melekat di benak masing-masing.

Bagaimana tepat setahun yang lalu, dalam rentang waktu yang sama. Dua orang pemuda berkelana jauh ke rimba liar bernama Jakarta.

Sebuah belantara beton, aspal, dan gedung bertingkat-tingkat yang mencakar langit.

Dua orang pemuda datang dari tanah jauh. Meninggalkan orang tua, saudara, teman, dan cintanya, demi mimpi tentang hidup yang cenderung abstrak.

Hidup penuh luka,
Bergerak merangkak mencari kelayakan hidup,
Bagai rakyat terbuang dari kampung halamannya.

Berharap datangnya keberhasilan yang lebih akrab dengan kefanaan. Dua orang pemuda kesana-kemari, ditolak, dibuang, diabaikan, diacuhkan. Terpinggirkan.

Bahu membahu saling tutup menutupi kekurangan demi perut terisi dan tidak kelaparan, sambil sesekali bermimpi untuk punya hidup bagai raja minyak dari saudi.

Sekarang, di roof top hotel itu, dua orang pemuda bercerita tentang apa saja yang sudah masing-masing mereka tempuh.

Kesulitan yang telah dilalui, tak sedikitpun membuat mereka berhenti untuk mengejar angannya. Meski harus berpeluh, lelah, dan sesekali istirahat, mimpi masih dengan api yang sama.

Berpisahnya dua pemuda ini pun, tak menjadi alasan mereka berhenti mencari pijakan yang kuat demi hidup di masa yang tak mereka ketahui entah umur mereka akan sampai atau tidak.

Meski masih abu-abu dan belum bisa memandang rendah waktu yang akan datang, tapi setidaknya sekarang mereka  sudah bisa menertawakan diri mereka sendiri tahun lalu, tertawa dari atas rooftop hotel berbintang, tempat yang bahkan mereka tak menduga akan duduk disana untuk bercerita seperti malam ini.

Ditemani segelas minuman soda dari restoran cepat saji, dan masih dengan menghisap merk tembakau yang sama.

Mereka telah mampu, setidaknya pada titik ini.

Tujuan masih jauh.
Berlari harus lebih kencang.

Karna mereka sadar, bahwa hidup tak akan pernah lebih mudah dari sebelumnya.

GAP.