Laman

Selasa, 28 Maret 2017

Hidup

Pukul 2 dinihari, didepan mereka terbentang luas sebuah kota yang dinamai Pekanbaru.

Rumah dari banyak orang yang tiap tahun bertarung melawan pekatnya asap dari hasil terbakarnya hutan dan lahan saat musim kering.

Dari atas bangunan lantai 11, mereka duduk memandangi kelap-kelip lampu kota. Ditemani suara gemercik air kolam renang, dan crane bangunan yang bekerja tepat disebrang salah satu hotel mewah berbintang yang mereka tempati.

Ada yang berbeda malam ini, hening dan gelap malam sama sekali tak membuat mereka takut. Tak ada perasaan yang gundah dari dua orang pemuda yang sedang mencari jatidiri itu.

Dengan malam yang sama pekatnya, lampu kota yg sama warnanya, dingin malam yang sama menusuknya, dua orang pemuda sedang menertawai dirinya masing-masing.

Menertawai hidup yang bisa berubah dalam waktu yang tak disangka-sangka.

Menertawai duka dan luka yang masih melekat di benak masing-masing.

Bagaimana tepat setahun yang lalu, dalam rentang waktu yang sama. Dua orang pemuda berkelana jauh ke rimba liar bernama Jakarta.

Sebuah belantara beton, aspal, dan gedung bertingkat-tingkat yang mencakar langit.

Dua orang pemuda datang dari tanah jauh. Meninggalkan orang tua, saudara, teman, dan cintanya, demi mimpi tentang hidup yang cenderung abstrak.

Hidup penuh luka,
Bergerak merangkak mencari kelayakan hidup,
Bagai rakyat terbuang dari kampung halamannya.

Berharap datangnya keberhasilan yang lebih akrab dengan kefanaan. Dua orang pemuda kesana-kemari, ditolak, dibuang, diabaikan, diacuhkan. Terpinggirkan.

Bahu membahu saling tutup menutupi kekurangan demi perut terisi dan tidak kelaparan, sambil sesekali bermimpi untuk punya hidup bagai raja minyak dari saudi.

Sekarang, di roof top hotel itu, dua orang pemuda bercerita tentang apa saja yang sudah masing-masing mereka tempuh.

Kesulitan yang telah dilalui, tak sedikitpun membuat mereka berhenti untuk mengejar angannya. Meski harus berpeluh, lelah, dan sesekali istirahat, mimpi masih dengan api yang sama.

Berpisahnya dua pemuda ini pun, tak menjadi alasan mereka berhenti mencari pijakan yang kuat demi hidup di masa yang tak mereka ketahui entah umur mereka akan sampai atau tidak.

Meski masih abu-abu dan belum bisa memandang rendah waktu yang akan datang, tapi setidaknya sekarang mereka  sudah bisa menertawakan diri mereka sendiri tahun lalu, tertawa dari atas rooftop hotel berbintang, tempat yang bahkan mereka tak menduga akan duduk disana untuk bercerita seperti malam ini.

Ditemani segelas minuman soda dari restoran cepat saji, dan masih dengan menghisap merk tembakau yang sama.

Mereka telah mampu, setidaknya pada titik ini.

Tujuan masih jauh.
Berlari harus lebih kencang.

Karna mereka sadar, bahwa hidup tak akan pernah lebih mudah dari sebelumnya.

GAP.